Komponen bioaktif ini meliputi senyawa yang berasal dari karbohidrat, protein, lemak, dan komponen-komponen yang terdapat secara alami di dalam sayuran serta buah-buahan. Khusus mengenai komponen bioaktif di dalam sayur dan buah-buahan yang berpengaruh secara fisiologis untuk meningkatkan kesehatan, mencegah, serta mengobati berbagai penyakit, disebut sebagai phytochemicals.2 Makanan yang mengandung phytochemicals, di samping fungsinya sebagai sumber zat gizi, disebut juga makanan fungsional. Berikut ini akan diuraikan mengenai pembentukan dan efek fisiologis dari berbagai komponen bioaktif turunan dari karbohidrat, protein, dan lemak pangan.
Bioaktif Amin dari Protein
Proses Pembentukan
Protein pangan adalah sumber utama asam amino yang dikonsumsi, baik sebagai protein atau sebagai asam amino bebas. Selama proses pengolahan, protein dapat berubah menjadi asam amino bebas yang selanjutnya menjadi senyawa amin. Jadi, senyawa amin merupakan komponen minor dalam makanan yang tersedia secara alamiah atau terbentuk selama proses pengolahan. Sebagian senyawa amin tersebut aktif secara fisiologis sehingga sering disebut amin bioaktif (bioactive amine).1,2 Pada umumnya, amin bioaktif terdapat di dalam bahan makanan dalam jumlah kecil dan biasanya tidak beracun. Tetapi, dalam makanan tertentu, terutama yang diolah dengan proses fermentasi, konsentrasi beberapa amin bioaktif meningkat sehingga dapat bersifat toksis jika dikonsumsi.1,4 Amin bioaktif yang menjadi fokus perhatian para ahli kimia pangan ialah tiramin, feniletilamin, histamin, putresin, dan kadaverin. Asam amino bebas merupakan bahan baku dalam pembentukan amin toksis tersebut. Histidin, misalnya, akan diubah oleh histidin dekarboksilase menjadi histamin.
Efek Fisiologis
Amin bioaktif umumnya aktif secara fisiologis terhadap susunan syaraf pusat (psikoaktif) dan terhadap sistem peredaran darah (vasoaktif), baik langsung maupun tidak langsung. Tiramin dan feniletilamin dapat menaikkan tekanan darah. Sebaliknya, histamin mempunyai efek menurunkan tekanan darah. Keracunan amin bioaktif dapat terjadi apabila kadar amin toksis meningkat dalam makanan yang dikonsumsi dan efeknya dapat dipengaruhi oleh zat lain dan obat tertentu.1 Pada kondisi normal, dalam tubuh tersedia suatu sistem penawar efek senyawa amin (detoksikasi amin), yaitu enzim-enzim monoamin oksidase (MAO), diaminoksidase (DAO), histamin metil transferase (HMT), dan histaminase dalam hati serta dinding usus. Enzim-enzim ini akan mengubah amin toksis menjadi bentuk yang tidak aktif. Tetapi, karena pengaruh zat lain atau kondisi seseorang, sistem detoksikasi tidak berfungsi, maka kepekaan orang tersebut meningkat dan keracunan amin toksis dapat terjadi.
Efek Toksis
Keracunan histamin pada mulanya lebih dikenal dengan nama scombroid poisoning, karena terjadi sesudah mengkonsumsi ikan dari golongan scombridae, yaitu ikan tongkol dan sejenisnya. Gejala keracunan sangat bervariasi dan merupakan gejala alergis, meliputi bercak merah pada kulit, rasa gatal, gangguan pencernaan, mual, muntah, mencret, sakit kepala, dan tekanan darah menurun. Pada umumnya, penderita kembali normal setelah beberapa hari dan pemberian antihistamin dapat menghentikan gejala-gejalanya. Selain ikan tongkol, makanan lain seperti sardensis, keju, sosis juga dapat menimbulkan keracunan karena kadang-kadang mengandung histamin yang cukup tinggi.1,4 Sebenarnya, pemberian histamin murni dalam jumlah besar (500 mg) jika diberikan secara oral tidak akan toksis, tetapi histamin yang disuntikkan sebanyak 0,1 mg sudah cukup untuk menimbulkan gejala-gejala keracunan. Detoksikasi histamin pada pemberian oral adalah karena terjadinya perombakan histamin di dalam hati oleh enzim-enzim diamin oksidase, histaminase, dan histamin metil transferase menjadi bentuk yang tidak aktif, sehingga tidak toksis. Keracunan histamin karena makan ikan terjadi karena adanya zat-zat lain dalam ikan yang mampu menghalangi metabolisme histamin dengan menghalangi aktivitas enzim-enzim tadi sehingga histamin diserap secara utuh dan menjadi toksis.
Komponen Bioaktif dari Karbohidrat
Serat Pangan
Serat pangan atau dietary fiber adalah karbohidrat (polisakarida) dan lignin yang tidak dapat dihidrolisis (dicerna) oleh enzim percernaan manusia, dan akan sampai di usus besar (kolon) dalam keadaan utuh sehingga kebanyakan akan menjadi substrat untuk fermentasi bagi bakteri yang hidup di kolon. Serat pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur molekul dan kelarutannya. Kebanyakan jenis karbohidrat yang sampai ke kolon tanpa terhidrolisis meliputi polisakarida yang bukan pati (non-starch polysaccharides = NSP), pati yang resisten (resistant starch = RS), dan karbohidrat rantai pendek (short chain carbohydrates = SC). 9,10,11 Serat pangan yang larut sangat mudah difermentasikan dan mempengaruhi metabolisme karbohidrat serta lipida, sedangkan serat pangan yang tidak larut akan memperbesar volume feses dan akan mengurangi waktu transitnya (bersifat laksatif lemah). Monomer dari serat pangan (NSP) adalah gula netral dan gula asam, sedangkan lignin terdiri dari monomer aromatik. Gula-gula yang membentuk serat pangan yakni glukosa, galaktosa, xylosa, mannosa, arabinosa, rhamnosa, dan gula asam, yakni mannuronat, galakturonat, glukoronat, serta 4-O-metil-glukoronat.10,12 Rangkaian NSP yang dibentuk oleh monosakarida ini dihubungkan melalui ikatan (1-4) glikosida seperti pektin, sellulosa, dan gum. Oleh karena itu, serat pangan tersebut (NSP) tidak dapat dihidrolisis oleh enzim percerna manusia. Misalnya, pektin mengandung asam galakturonat, baik yang termetilasi maupun yang tidak. Perbandingan dari metilasi dan sebagai asam (derajat metilasi) dalam polimer pektin, sangat berpengaruh terhadap sifat fungsional dari pektin. Pektin dengan derajat metilasi yang tinggi (high-methoxy pectin = HMP) yang terdapat secara alamiah pada buah dan sayuran, mungkin tidak larut dengan baik dibandingkan dengan pektin yang telah diisolasi. Hemisellolosa terdiri dari xylosa dan arabinosa dengan perbandingan tertentu yang membedakan jenis hemisellulosa tersebut. Nilai gizi dari serat pangan semula dianggap tidak menyumbangkan energi karena tidak dapat dicerna oleh enzim pencerna manusia. Akan tetapi karena serat pangan difermentasikan di dalam kolon dan menghasilkan hidrogen, metana, karbon dioksida, serta asam lemak rantai pendek seperti propionat, butirat yang dapat diserap, dan menghasilkan sejumlah energi maka serat pangan dapat menghasilkan energi 0-3 kalori per gram. 9,10,12
Komponen Bioaktif dari Lemak
Lipida merupakan komponen senyawa organik yang terdapat di dalam mahluk hidup yang larut di dalam pelarut organik atau pelarut non-polar, tapi tidak larut di dalam air. Lemak (komponen lipida terbesar) merupakan ester dari gliserol dan tiga asam lemak sehingga disebut triasilgliserol atau trigliserida. Sifat fisis dan kimia dan bahkan nilai gizi dari lemak ditentukan oleh komposisi asam lemak dan posisi asam lemak di dalam molekul trigliserida.18,19 Ada beberapa asam lemak dan senyawa lipida lain yang mendapat perhatian secara khusus karena mempunyai efek fisiologis yang positif maupun negatif terhadap kesehatan, yakni asam lemak essensial, omega-3, dan asam lemak tak jenuh isomer trans (trans fatty acids =TFA).
Asam Lemak Essensial dan Omega-3 Rantai Panjang
Asam lemak essensial terdiri dari asam lemak linoleat (LA) (18:2 n-6) dan linolenat (LNA) (18:3 n-3) yang juga termasuk omega-3. Omega-3 berantai panjang yang tidak essensial yakni asam lemak yang biasanya memiliki ikatan rangkap lebih dari dua (poly unsaturated fatty acid=PUFA) dan ikatan rangkap yang paling terakhir terdapat pada atom karbon ketiga dari ujung rantai asam lemak tersebut. Karena itu, sering disebut poly usaturated fatty acids omega-3 (PUFA n-3). 18,19
Asam Lemak Trans
Pada mulanya, mentega dibuat dari lemak susu karena konsistensinya yang setengah padat. Tetapi, karena pasokan lemak susu terbatas kemudian mentega ini digantikan dengan produk sejenis, yakni margarin dengan menggunakan lemak sapi yang ditemukan oleh Mege-Mouries pada 1869. Selanjutnya, setelah ditemukan teknik hidrogenasi, margarin dibuat dari minyak nabati karena berbagai alasan antara lain: (a) karena kebutuhan akan lemak tidak sebanding lagi dengan produksi; (b) dari aspek nutrisi, terutama tentang kandungan kolesterol di dalam lemak hewani; (c) karena adanya efek menurunkan kolesterol dari lemak tak jenuh dari minyak nabati; dan (d) karena alasan religius.24 Proses hidrogenasi ditemukan pada 1903 oleh Norman. Proses ini terdiri dari pemanasan dengan adanya hidrogen elementer yang dibantu oleh suatu katalisator logam, biasanya menggunakan nikel. Hasil hidrogenasi ialah (a) terjadinya penjenuhan dari ikatan tak jenuh asam lemak; (b) isomerisasi ikatan rangkap bentuk cis (alami) menjadi bentuk isomer trans; dan (c) perubahan posisi ikatan rangkap. Perubahan ini terutama akan menaikkan titik leleh, berarti mengubah minyak cair menjadi lemak setengah padat yang sesaui dengan kebutuhan.18,24 Sebelumnya, keberadaan TFA di dalam lemak terhidrogenasi di dalam margarin dianggap menguntungkan karena mempunyai titik leleh yang lebih tinggi (sama dengan titik leleh asam lemak jenuh) daripada bentuk cis. Akan tetapi, sejak 1990, penelitian tentang efek negatif dari TFA meningkat karena ternyata TFA dapat meningkatkan risiko penyakit jantung koroner (PJK).25,26,27 Selain proses hidrogenasi, pemanasan selama pengolahan minyak (refinery), menggoreng (deep frying), dan TFA juga terdapat secara alami di dalam lemak susu. Perubahan cis menjadi trans mulai terjadi pada temperatur 180oC dan meningkat sebanding dengan kenaikan temperatur.